Ngopi dulu aja biar nggak ikutan stres |
Cerita malam ini emang nggak ada hubungannya sama foto diatas, tapi setidaknya kita bisa ngopi dulu biar nggak ikutan stres dan tetep kalem dalam menjalani hidup. Aku mau cerita sedikit tentang kehidupanku selama di IGD sebagai seorang internship (ya kalo bisa sih cukup waktu internship ajalah ya kerja shift-shift-an di IGD-nya). Memang dasarnya aku juga nggak suka jaga IGD apalagi jaga malam jadi rasanya makin ruwet dan campur aduk. Di cerita yang lalu, aku sudah sempet cerita kalo aku nggak suka jaga malam, tapi kali ini aku mau cerita secara keseluruhan. IGD adalah tempat yang buka 24 jam,7 hari seminggu, selama 365 hari setahun. Disana tujuan para tenaga medis adalah menstabilkan dan merawat pasien-pasien dengan kondisi akut.
... span class="fullpost" Pertama dapet rotasi di IGD memang bikin hidupku yang tenang berubah 180 derajat. Pagi jam 5 alarm udah nyala, siap-siap untuk jaga jam 7 pagi yang mana jam 7 kurang 10 paling nggak udah jalan dari kos-kosan. Sebisa mungkin tepat waktu operannya, soalnya kalau telat kasian temen shift sebelumnya udah kayak zombie abis jaga malam. Terus ngerjain pasien yang kalo hari senin itu pasien luar biasa banyaknya. IGD itu nggak semudah itu, bro. Keputusan pasien ini rawat inap atau rawat jalan dengan observasi atau pasien poli itu ada di tangan kita. Itu namanya triage, dan itu nggak semudah yang dipikirkan. Pasien datang itu udah harus langsung cepet mikirnya dia sakitnya arah mana ? Penyakit dalam kah, saraf kah, kardio kah bedah kah, itu yang udah ada di menit pertama ketika kita meriksa pasien. Sambil meriksa sambil anamnesis dan sambil membayangkan pasien ini butuh infus atau enggak, kalau butuh infus dia butuh infus apa. Sometimes we have no clue at all. Setelah observasi dan nggak membaik dengan terapi kita, kita harus mikir lagi nih pasien kenapa apakah ada pemeriksaan yang missed. Oh ya di era BPJS ini para dokter IGD harus cermat juga dalam menentukan terapi (karena nggak semua obat di cover BPJS) dan menentukan apa saja yang mau di lab kan. Ini semua masalah claim BPJS. Setelah itu, kita harus konsul dengan supervisor mengenai pasien yang akan di rawat-inapkan, apakah ada tambahan terapi atau di masukkan di ruang intensif atau biasa. Setelah itu? Bikin resep dan tanda tangan macem-macem. Masalah selanjutnya adalah apakah ruang rawat inapnya tersedia atau penuh? Kalau penuh? Ya pasiennya nunggu di IGD dulu, kasian sih sebenernya. Tapi kadang keluarga pasien suka gemes kenapa kok lama ga dimasukin ruangan atau gimana-gimananya. Harus sabar njelasinnya, nggak boleh nyolot, atau ikutan gemes. Kita nggak tau rasanya jadi mereka, jadi sabar-sabarin aja. Sedihnya, kadang ruangan itu nggak pernah rasanya hidup di rimba IGD yang kejam, jadi beberapa oknum suka ngomel-ngomel nyalahin IGD atau masalah kecil yang mereka buat ribet. Ya pokoknya IGD celalu calah lah. Lalu kemudian setelah itu pulang jam 2 siang dengan kondisi kelaparan biasanya karena nggak sempet makan dari pagi. Terus tidur sesampainya di kos. Tergantung nih malemnya ada jaga malem nggak, jadi jaganya kadang ding-dong-ding-dong biar banyak pulangnya. Thank God kelompokku adalah kelompok yang ga kebanyakan sambat dan saling membantu. Tujuannya sama-sama biar banyak pulangnya, makanya jaganya di mepet-mepetin. Nggak dikit juga orang yang meremehkan IGD (sebelum mencoba) dan menyudutkan atau menyalahkan orang IGD. Nggak apa-apa, mungkin mereka memang kaum yang tidak mengerti apa yang mereka perbuat ahahaha. Kadang untuk menyalahkan, kita harus pernah berada di posisi orang yang kita salahkan itu. Apakah hal yang dipermasalahkan itu benar atau tidak. Pernah ada cerita, seseorang yang jaga di ruangan komplain ke IGD karena pasiennya komplain ke dia. Intinya ya orang IGD suruh tanggungjawab dan nyelesaiin. Eh kok bulan depannya dia dipindahtugaskan ke IGD dan dia sambat kalo IGD emang berat dan dia nggak survive. Lol.
Banyak juga cerita lucu di IGD. Misalnya pasien yang sebenernya nggak perlu rawat inap tapi maksa-maksa biar di rawat inap. Padahal banyak juga pasien lain yang lebih membutuhkan ruangan. Kan gemes. Atau ada rujukan dari puskesmas dengan suatu diagnosa yang bisa ditangani di faskes tingkat pertama. Kan gemes. Atau juga remaja-remaja lucuk yang tiba-tiba kaku kayak orang tetanus dan bertingkah sesak, saat diperiksa semuanya normal, dan usut punya usut dia gitu karena habis dimarahin orang tuanya atau putus dari pacarnya. Kan gemes. IGD tidak sebercanda itu, bro.
IGD itu tensionnya besar. Keputusan yang diambil harus cepet. Nggak boleh malas ngerjain pasien dan harus sabar menghadapi pasien. IGD itu bikin kita banyak belajar soal claim BPJS. IGD itu bikin kita harus bisa menganalisis baca foto rontgen, CT-Scan, atau EKG dengan cepat. Ya mungkin aku masih meraba-raba sih, tapi seenggaknya udah lebih cepat daripada waktu ujian koas dulu. Lol. IGD itu nggak punya tanggal merah, jadi jangan berharap libur ketika tanggal merah, atau seringnya waktu libur kita ya hari biasa waktu orang lain pada kerja. IGD itu bikin tidur bisa cepet pules karena kecapekan. IGD juga bikin lebih takut kelaparan daripada takut gendut. Di akhir cerita aku cuma mau bilang kalau IGD itu bikin kemampuan praktis semakin terasah, belajar tepat waktu, dan belajar bahwa IGD itu tidak sesepele itu. /span
Comments
Post a Comment